sejarah teungku peukan
Selintas “Nanggroe Breuh Sigeupai”Pada
tanggal 3 Juni 1899, Letnan H.Colijn, seorang controleur di Tapaktuan
telah menyebutkan dalam catatan harian militer tentang kenegerian
Tapaktuan dan pantai Barat Daya Aceh sebagai wilayah kekuasaannya.A.PendahuluanKabupaten
Aceh Barat Daya lahir dengan dinamika sejarah yang sangat panjang dan
berliku, yang dimulai semenjak dari masa orde baru sampai masa pasca
reformasi. Kabupaten ini merupakan integrasi dari enam kecamatan.
Dimekarkan dari kabupaten Aceh Selatan pada tanggal 10 April 2002, yang
disahkan dengan Undang-Undang.
Setelah
menjadi kabupaten, Aceh Barat Daya, terbagi menjadi sembilan kecamatan,
yang terdiri dari kecamatan Lembah Sabil, Manggeng, Tangan-Tangan, Suaq
Setia, Blangpidie, Susoh, Jeumpa, Kualabatee, dan Babahrot, dengan
ibukotanya Blangpidie.
Kabupaten
Aceh Barat Daya secara geografis berada antara 3º.05’-3º.80’ Lintang
Utara (LU) dan 96º.02’- 97º.23.03º Bujur Timur (BT). Secara garis besar,
wilayahnya berada di belahan utara garis khatulistiwa sehingga beriklim
tropik. Sebagian besar daerah ini berpanorama sangat indah karena
merupakan deretan pegunungan Bukit Barisan dan Taman Nasional Gunung
Leuser yang menghijau di bagian Utara dan bentangan maha luas membiru
perairan Samudera Indonesia di pesisir Barat Daya dan Selatan.
Dataran
rendah adalah bagian sempit berupa lembah-lembah yang terdiri dari
perkampungan dan persawahan serta perkebunan rakyat. Sungai-sungai besar
dengan air jernih penuh bebatuan yang menjadi tumpuan kehidupan
masyarakat. Gemericik air dari sungai-sungai besar, seperti Krueng
Seumayam di sebelah Barat yang menjadi perbatasan dengan kabupaten Nagan
Raya, Krueng Babahrot, Krueng Beukah atau Krueng Beukah atau Krueng
Susoh di Blangpidie dan Krueng Baru di Lembah Sabil di sebelah Timur
yang menjadi perbatasan dengan kabupaten Aceh Selatan, merupakan potensi
alam yang besar bagi kabupaten Aceh Barat Daya.
Daerah-daerah
subur yang terdapat di aliran sungai-sungai tersebut merupakan anugerah
dan sumber kehidupan bagi sebagian besar penduduknya yang merupakan
masyarakat agraris yang mengandalkan pertanian sistem irigasi untuk
pertanian padi, perkebunan kelapa sawit dan tanaman coklat/kakao.
B. Etnografi Aceh Barat Daya“Meunyo
meugo u Blangpidie tajak ligat, meunyoe ibadat bak Teungku Muda”.
Maknanya, “kalau bertani ke Blangpidie dengan segera ; kalau beribadat
kepada Teungku Muda.
Masyarakat
Aceh Barat Daya bermata-pencaharian di sektor agraris dengan pertanian
dan perkebunan sebagai lahan pekerjaan dan pendapatan terbesar. Sebagian
lagi merupakan komunitas pantai yang bermatapencaharian sebagai nelayan
yang menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dan perairan di
sekitar air payau serta rawa-rawa. Selebihnya bekerja di sektor
perdagangan, pertukangan, buruh, pegawai pemerintah ataupun swasta.
Berdasarkan
etnografi, kabupaten Aceh Barat Daya berpenduduk heterogen, yang
terdiri dari beberapa etnis pendatang yang menetap di sana. Etnis Batak
atau yang disebut leco atau maco adalah penghuni “asli” dari ras
Protomelayu. Mereka tinggal di sekitar Guha Batak di hulu Krueng Beukah
di pedalaman Blangpidie.
Pada fase selanjutnya, datang etnis Aneuk Jamee yang merupakan penduduk migrasi dari Sumatera Barat. Di samping itu juga ada pendatang dari etnis Melayu pesisir dari bagian selatan Sumatera Utara. Para migran ini cenderung mendiami daerah pesisir pantai dan tepian muara sungai-sungai besar atau di sepanjang garis pantai di Aceh Barat Daya.
Pada fase selanjutnya, datang etnis Aneuk Jamee yang merupakan penduduk migrasi dari Sumatera Barat. Di samping itu juga ada pendatang dari etnis Melayu pesisir dari bagian selatan Sumatera Utara. Para migran ini cenderung mendiami daerah pesisir pantai dan tepian muara sungai-sungai besar atau di sepanjang garis pantai di Aceh Barat Daya.
Migrasi
penduduk selanjutnya, datang dari etnis Aceh khususnya dari Aceh Besar
yang membuka perkebunan lada. Kemudian disusul oleh kedatangan para
petani dari etnis Pidie yang membuka lahan pertanian padi.
Kedatangan
penduduk minoritas lainnya, seperti Jawa, Cina, dan Mandailing. Mereka
telah mengalami asimilasi dalam pluralitas sehingga kemudian dapat
menyebar ke seluruh kenegerian di Aceh Barat Daya. Sedangkan orang-orang
Cina sejak kedatangannya, tetap berkonsentrasi di sekitar kota
Blangpidie, karena adanya perbedaan agama dan kepercayaan dengan
penduduk lainnya. Pada mulanya zelfbestuurden Blangpidie berada di bawah
hegemoni kenegerian Susoh, namun kemudian berdiri sendiri menjadi
zelfbestuur.
1. Wilayah Kenegerian ManggengWilayah
Manggeng terbentang mulai dari Ujong Lhok Pawoh di perbatasan dengan
Tangan-Tangan di bagian Barat sampai tepian Krueng Baru di sebelah
Timur. Kenegerian Manggeng terdiri dari dua uleebalang, yaitu uleebalang
Bak Weu di Lembah Sabil dan uleebalang Manggeng. Kedua wilayah itu
dipimpin oleh Datok Beusa. Setelah Datok Beusa meninggal dunia,
anak-anaknya menjadi pewaris menggantikan posisinya. Beberapa pergantian
uleebalang terjadi di Manggeng.
Pada
masa pemerintahan uleebalang Teuku Sandang, ia melakukan kesalahan
sehingga sempat diasingkan ke Batavia (Jakarta). Posisinya digantikan
oleh Teuku Mamat, namun kemudian digantikan lagi oleh Teuku Muda Nana
dan Pemangku Nyak Blang. Setelah Teuku Sandang selelsai masa
pengasingannya, ia diangkat kembali menjadi uleebalang Manggeng. Tidak
lama kemudian, ia digantikan oleh Teuku Iskandar sampai tahun 1933, yang
merupakan raja yang terakhir di kenegerian Manggeng.
Penduduk
di kenegerian Manggeng sebagian besar berasal dari XXV Mukim Aceh Besar
yang berbaur dengan orang Minangkabau (etnis Aneuk Jamee). Mereka
tersebar di gampong Manggeng (di sebelah Barat Krueng Manggeng) dan di
gampong Bak Weu di Lembah Sabil (sebelah Selatan Krueng Manggeng).
Mata-pencaharian mereka adalah bertani di ladang dan sedikit yang
menanam padi di sawah. Sedangkan lada tidak dapat berkembang dengan baik
di sana. Hasil-hasil pertanian di kenegerian Manggeng diekspor melalui
pelabuhan di kenegerian Susoh.
2. Wilayah Kenegerian BlangpidiePada
tahun 1885, Teuku Ben Mahmud Setia Raja mulai memerintah di kenegerian
Blangpidie. Besluit Belanda di Blangpidie adalah Teuku Raja Sawang
berdasarkan perjanjian Pulo Kayee tahun 1884. Setelah kematian Teuku
Raja Cut, keturunan dari Teuku Ben Mahmud yang dianggap sebagai penguasa
sah di Blangpidie. Sepuluh tahun kemudian, yakni tahun 1895, Teuku Ben
Mahmud menyerang uleebalang Tapaktuan karena dianggap telah bekerjasama
dengan Belanda, di bawah pimpinan Teuku Larat.
Dalam
penyerangan itu putra Teuku Ben Mahmud, Teuku Banta Sulaiman ditawan
Belanda beserta dengan puteri Teuku Larat, Cut Intan Suadat. Setelah
peristiwa itu, mereka kemudian dinikahkan. Penyerangan itu terkenal
dengan Perang Jambo Awe, di mana panglima penyerangannya dipimpin oleh
Teungku Jambo Awe yang berasal dari Seunagan, Nagan Raya.
Pada
awal pendudukan di Aceh Barat Daya, Belanda melakukan politik korte
verklaring (perjanjian singkat) kepada setiap kepala negeri yang ada di
sana. Pada sisi lain, rakyat serta-merta tidak mau tunduk begitu saja di
bawah kekuasaan kolonial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian
pemimpin yang tidak mau dijajah, kemudian bangkit menggerakkan
pengikutnya melakukan resistensi untuk mengusir kolonial dari “Bumo
Breuh Sigeupai”.
Tahun
1900, pasukan marsose Belanda memasuki kota Blangpidie, setelah
memindahkan posisinya dari Susoh. Belanda membangun tangsi bagi marsose
dengan kekuatan satu Satuan Setingkat Kompi (SSK). Sejak adanya tangsi
Belanda di Blangpidie, kota ini semakin berkembang pesat sebagai pusat
perdagangan antar kenegerian di Aceh Barat Daya saat itu.
Perkembangan
perdagangan di kota Blangpidie sangat signifikan karena merupakan basis
agraris terbesar di wilayah bagian Barat Selatan Aceh terutama sebagai
penghasil padi serta didukung situasi keamanan dan kedudukan pusat
militer Belanda. Daya tarik ini mendatangkan minat dari para pedagang
Cina dari Sibolga (Sumatra Utara) dan Padang (Sumatera Barat) untuk
membangun pertokoan di Blangpidie. Perkembangan kota Blangpidie sebagai
pusat perdagangan semakin bertambah ramai, semenjak dibukanya akses
jalan raya mulai dari Kutaraja sampai ke Tapaktuan Aceh Selatan oleh
Belanda.
Pada
tahun 1901, Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 500 orang
memporak-porandakan pasukan marsose Belanda di bawah pimpinan Letnan
Helb. Pada tahun 1905, tangsi Blangpidie kembali diserang oleh pasukan
Teuku Ben Mahmud dengan kekuatan sekitar 200 pejuang dengan senjata api
dan kelewang. Penyerbuan fase kedua ini ke dalam tangsi Belanda itu,
telah menewaskan 47 orang pejuang dari Aceh Barat Daya. Hal itu terjadi,
karena kurang persiapan dan taktis serta ketidakseimbangan kekuatan
antara pejuang dengan pasukan Belanda yang ada di dalam tangsi Marsose
di Blangpidie.
Pada
tahun 1910, wilayah Blangpidie dibagi menjadi empat landschappen yang
dipimpin zelfbetuurden atau uleebalang cut, yaitu Pulo Kayee, Kutatuha,
Lampohdrien dan Kutatinggi. Keempat wilayah uleebalang cut ini merupakan
rangkaian wilayah yang terbentang, mulai dari Pulo Kayee sampai ke Alue
Rambot di sebelah barat dan Panton Seumancang sampai ke Paya di sebelah
timur.
BAGIAN II
“Peristiwa 11 September 1926”
Perlawanan Teungku Peukan Terhadap Belanda di Aceh Barat Daya
“Peristiwa 11 September 1926”
Perlawanan Teungku Peukan Terhadap Belanda di Aceh Barat Daya
Pada
masa konfrontasi kerajaan Aceh dengan Belanda, tahun 1905 Teuku Ben
Mahmud dari Blangpidie telah melakukan penyerangan terhadap posisi
Belanda di Meukek, Aceh Selatan. Serangan ini dipimpin oleh Teungku
Idris yang menewaskan seorang pegawai sipil yang bernama Abdul Hamid.
Pasca penyerangan, Teungku Idris ditangkap dan dibuang ke Ternate.
Selanjutnya Teuku Ben Mahmud semakin sering menyerang posisi Belanda
bahkan sampai Tapaktuan, Bakongan hingga ke perbatasan Sumatra Utara
dengan serangan gerilya. Setelah Teuku Ben Mahmud ditangkap dan
diinternir Belanda ke Maluku, perjuangan dari rakyat Aceh Barat Daya
tidak kunjung padam dan seperti “apui lam seukeum”. Setelah Teuku Ben
Mahmud diasingkan, tanpa diduga-duga terjadi perlawanan Teungku Peukan
dari Manggeng yang juga menyerang tangsi Belanda di Blangpidie dalam
“Peristiwa 11 September 1926”.
Saat
ini nama Teuku Ben Mahmud, Teungku Peukan dan pejuang lainnya di Aceh
Barat Daya, kurang begitu populer di masyarakat. Para pejuang tersebut
pernah menorehkan “tinta emas” bagi semangat kemandirian dan jatidiri
dengan perlawanan rakyat di Aceh Barat Daya terhadap kolonial Belanda.
Pada saat Belanda semakin kokoh posisinya, penyerangan sporadis Teungku
Peukan dan pejuang lainnya mampu menghantam posisi tangsi marsose
Belanda di kota Blangpidie dalam serangan yang dilakukan pada hari
Jum’at tanggal 11 September 1926. Serangan ini menjadi saksi dan jejak
sejarah keheroikan para pejuang dari Aceh Barat Daya dalam menghadapi
eksploitasi dan kolonialisasi.
A. Sekilas Teungku PeukanBerdasarkan
literatur menyebutkan bahwa Teungku Peukan adalah seorang ulama yang
karismatis di daerah zelfbestuur Manggeng. Kini Manggeng dan Lembah
Sabil adalah nama kecamatan yang secara geografis berada di bagian timur
wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Orangtua Teungku Peukan merupakan
seorang ulama atau pemuka agama Islam yang bernama Teungku Padang
Ganting sedangkan ibunya bernama Siti Zulekha. Teungku Peukan dilahirkan
di Manggeng pada sekitar tahun 1886, yaitu ketika kerajaan Aceh telah
mengalami fase awal peperangan dengan Belanda sejak penyerangan posisi
pertahanan Aceh di Mesjid Baiturrahman pada tanggal 18 April 1873,
karena kerajaan Aceh tidak menerima isi Perjanjian “Traktaat Sumatera”,
yaitu suatu perjanjian antara Belanda dan Inggris dalam menentukan
posisi mereka di Sumatera dan sekitar selat Malaka.
Berdasarkan
putusan itu, Belanda merasa berhak menguasai Aceh karena masih
merupakan wilayah Sumatera. Namun pihak kerajaan Aceh masih menghormati
perjanjian Traktaat London yang membebaskan Aceh dalam melakukan
perdagangan dengan negara-negara asing, khususnya Inggris, Turki, dan
lain-lain.
Teungku Peukan dilahirkan pada fase awal pergolakan Belanda melawan Aceh, hal ini tentu saja mempengaruhi watak beliau semasa dewasa. Terutama dalam pembentukan nilai dan spirit melawan kolonialisme dengan memberi stigma “kaphe” sehingga memeranginya adalah kewajiban bagi setiap muslim. Penolakan keberadaan dan pergolakan terhadap kolonial Belanda yang terbentuk secara psikologis mempengaruhi karakteristik masyarakat Aceh yang sangat antikolonial dengan menyebut mereka kafir (kaphe murakab).
Teungku Peukan dilahirkan pada fase awal pergolakan Belanda melawan Aceh, hal ini tentu saja mempengaruhi watak beliau semasa dewasa. Terutama dalam pembentukan nilai dan spirit melawan kolonialisme dengan memberi stigma “kaphe” sehingga memeranginya adalah kewajiban bagi setiap muslim. Penolakan keberadaan dan pergolakan terhadap kolonial Belanda yang terbentuk secara psikologis mempengaruhi karakteristik masyarakat Aceh yang sangat antikolonial dengan menyebut mereka kafir (kaphe murakab).
Berangkat
dari figur orangtua seorang ulama yang karismatik di kenegerian
Manggeng, yang menurunkan watak Teungku Peukan yang tinggi kecintaannya
kepada agama dan negerinya seperti yang telah dianjurkan oleh agama
Islam, sehingga kewajiban membela Islam dari kolonial sangat kentara
mewarnai perjuangan Teungku Peukan. Hal itu terlihat ketika persiapan
menjelang penyerangan, di mana diadakan “pembersihan diri” dengan
melakukan wirid dan zikir untuk memohon restu dari Allah SWT. Sebagai
pemimpin agama dan elit masyarakat di Manggeng tentu saja membuat
dimensi lain dari resistensi Teungku Peukan yang bernuansa jihad
fisabilillah terhadap kolonialis Belanda di Aceh Barat Daya.
Kenyataan
ini diwaspadai oleh Belanda karena kekuatan yang masih bertahan di Aceh
hanyalah kekuatan dari ulama seperti Teungku Dayah, Teungku Rangkang
dan Teungku Meunasah, karena “bangsawan” sudah dapat “dipengaruhi”
dengan pemberian fasilitas dan akses yang besar dalam penguasaan
pungutan belasting atau pajak dan juga sistem penyelesaian sengketa di
dalam masyarakat di wilayah uleebalangnya, sehingga masyarakat cenderung
menjadi oposisi terhadap bangsawan karena kebijakan represifnya.
Posisi
Teungku Peukan sebagai leader of spiritual dalam masyarakat di Manggeng
menghadapi kolonial Belanda, menjadi pemicu peningkatan moralitas para
pendukungnya. Figur ulama menjadi barometer atau motor utama dalam
resistensi terhadap kolonialisme di Aceh Barat Daya, di samping
perjuangan yang digerakkan oleh kaum feodal atau bangsawan. Namun
setelah Belanda berhasil melakukan pengkajian terhadap peta kekuatan dan
melihat dua sisi internal yang sangat berpengaruh di dalam masyarakat
Aceh yaitu teungku/pemimpin agama dan uleebalang sebagai pemimpin adat.
Kedua kekuatan itu dianggap seperti dua sisi mata uang yang saling
berkaitan erat antara satu sisi dengan sisi lainnya, sehingga keduanya
harus “dipressure” agar mau bekerjasama.
Pengaruh
ajaran Islam sangat besar dalam menggerakkan resistensi terhadap
kolonial. Islam telah mewanti-wanti kewajiban seseorang atau kaum untuk
membela diri, agama dan tanah air hingga ke tetes darah penghabisan
dengan imbalan surga sebagai “reward”. Hal inilah yang membuat perang di
Aceh menjadi unik dan spesifik ketika melawan kolonial Belanda, yaitu
perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah di wilayah Indonesia.
Kondisi
ini juga diwaspadai Belanda sehingga perlu dipisahkan kekuatan yang
telah menyatu tersebut sebagai upaya menjaga kontrol hegemoni dari
kolonial untuk kelanggengan posisinya di Aceh Barat Daya. Upaya mereka
terlihat dengan adanya rekrutmen intelijen dan spionase dari masyarakat
untuk memantau aktivitas dakwah Teungku Peukan yang dianggap dapat
mengancam posisi Belanda di sana. Ulah intelijen dan spionase lokal yang
digunakan Belanda tersebut, bermuara kepada pemboikotan terhadap
aktivitas-aktivitas dakwah yang dilakukan Teungku Peukan di sekitar
kenegerian Manggeng.
Taktik
devide et impera sangat ampuh diterapkan Belanda di Aceh Barat Daya,
namun belum berhasil membangkitkan amarah Teungku Peukan untuk segera
melakukan resistensi. Padahal beberapa kerabat Teungku Peukan ingin
menyegerakan resistensi terhadap kolonial tersebut. Belanda terus
memancing amarah Teungku Peukan dengan pengajuan penarikan pajak tanah
atau belasting yang sudah tiga tahun dibebaskan oleh uleebalang Manggeng
kepadanya. Teungku Peukan tetap tidak mau membayar pungutan belasting
tersebut. Berdasarkan alasan inilah kolonial Belanda berkeinginan
menangkap Teungku Peukan untuk diadili. Namun, beliau terlebih dahulu
menyiapkan siasat dengan menyerang secara ofensif tangsi Belanda melalui
pengerahan massa, terutama mereka yang beroposisi dengan uleebalang
Manggeng. Dalam penyerangan ini Teungku Peukan dibantu kerabat dan
simpatisannya.
B.Kondisi Menjelang Penyerangan TangsiPada
malam menjelang peristiwa penyerangan, Teungku Peukan dan pasukannya
melakukan ritual keagamaan berupa wirid dan zikir untuk pembersihan diri
dan penyerahan diri secara sakral yang dilakukan di Meunasah Ayah
Gadeng Manggeng. Para pejuang melakukan breefing terhadap pasukannya di
daerah Manggeng, pada saat hendak melakukan penyerangan ke tangsi
Blangpidie. Setelah pengaturan “setting awal” serangan, Teungku Peukan
lalu mengerahkan pasukannya menuju Blangpidie dengan menempuh jalan kaki
sejauh 20 kilometer. Longmarch pasukan ini dilakukan pada tengah malam
memasuki hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Seluruh pasukan memakai
pakaian hitam dengan celana hitam. Khusus panglima menggunakan
seuleumpang kuneng (selempang kuning), sedangkan para pejuang
menggunakan pakaian hitam dengan lilitan ija kuneng (kain kuning) di
pinggang mereka.
Seluruh
pejuang diwajibkan menyingsingkan celana hingga sejengkal di atas mata
kaki atau tumit untuk menciptakan aura kesigapan, kecepatan dan
ketidaksombongan. Sebagai colourguard (pengibar panji perang)
dipercayakan kepada putranya Talaha untuk mengobarkan semangat jihad
dalam menggempur “kaphe Beulanda”. Sepanjang malam hingga menjelang
fajar, pekikan suara takbir terus membahana di sepanjang jalan antara
Manggeng-Blangpidie.
Menjelang
fajar, seluruh anggota pasukan Teungku Peukan telah tiba di Blangpidie.
Sambil melepaskan lelah dan dahaga, pasukan melakukan breefing dan
mengatur strategi penyerangan ke dalam tangsi Blangpidie.
Setelah
beristirahat di Balee Teungku Di Lhoong, Dayah Geulumpang Payong
kemukiman Kutatinggi, seluruh pejuang disiapkan dalam siaga penuh.
Pasukan pejuang dibagi menjadi tiga sektor, sesuai dengan penentuan arah
serangan yang telah ditetapkan oleh Teungku Peukan. Ketiga sektor itu,
masing-masing dipimpin oleh seorang panglima sektor. Saat penyerangan
itu, Teungku Peukan dibantu oleh Said Umar, Waki Ali dan Nyak Walad.
C. Peristiwa 11 September 1926Serangan
fajar secara sporadis dan dahsyat dilakukan oleh pasukan Teungku Peukan
menjelang subuh bertepatan masuknya hari Jum’at tanggal 11 September
1926. Serangan dari pejuang pengikut Teungku Peukan pada Subuh itu
membuat serdadu Belanda di dalam tangsi kucar-kacir. Sebagian marsose
yang sedang tertidur pulas ditewaskan dengan serangan kelewang dan
rencong pejuang Aceh Barat Daya. Sebagian lainnya terluka dan hanya tiga
marsose yang selamat dalam serangan fajar itu.
Dikisahkan, dalam serangan itu beberapa kali senapan marsose Belanda tidak dapat meletus ketika akan menembaki para pejuang di pihak Teungku Peukan. Para pejuang dari “Bumo Breueh Sigeupai” terus maju menggempur dan memporak-porandakan marsose dan isi tangsi Belanda. Serangan di pagi itu ke dalam tangsi Belanda membuat “banjir darah” di Blangpidie, baik di pihak pejuang maupun marsose. Sebagai wujud rasa syukur, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan.
Dikisahkan, dalam serangan itu beberapa kali senapan marsose Belanda tidak dapat meletus ketika akan menembaki para pejuang di pihak Teungku Peukan. Para pejuang dari “Bumo Breueh Sigeupai” terus maju menggempur dan memporak-porandakan marsose dan isi tangsi Belanda. Serangan di pagi itu ke dalam tangsi Belanda membuat “banjir darah” di Blangpidie, baik di pihak pejuang maupun marsose. Sebagai wujud rasa syukur, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan.
Saat
mengumandangkan azan, seorang marsose Belanda melepaskan tembakan yang
membuat Teungku Pekan “syahid” ke pangkuan “Bumo Persada”. Dalam situasi
dan kondisi yang sangat genting, Teungku Muhammad Kasim (putra Teungku
Peukan) menjadi emosional dan dengan serta-merta menyerang dengan
semangat “tueng bila”. Ia meraih potongan pecahan kaca yang bertaburan
di dalam tangsi untuk menghantam tubuh salah seorang marsose. Sebelum
kaca mengenai tubuh lawan, hantaman peluru dari marsose lainnya
menembusi tubuhnya yang membuat beliau ikut gugur di dalam serangan itu.
Teungku
Peukan kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi tertembak dan gugur,
yaitu di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie dekat tangsi Belanda. Beliau
meninggal pada hari Jum’at, tanggal 11 September 1926. Dalam serangan
itu, bersama Teungku Peukan, gugur lima orang pejuang lainnya.
Beberapa
panglima dan pejuang yang selamat, melarikan diri dan kembali
bergerilya di hutan-hutan di daerah pedalaman Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan, di antaranya Pang Paneuk dan Sidi Rajab.
Sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda semakin ketat, membuat para pejuang Aceh Barat Daya banyak yang gugur dan tertangkap. Mereka diinterniran ke pulau Jawa, seperti Waki Ali dan Nyak Walad, sedangkan Said Umar “dibuang” ke Makassar Sulawesi Selatan.
Sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda semakin ketat, membuat para pejuang Aceh Barat Daya banyak yang gugur dan tertangkap. Mereka diinterniran ke pulau Jawa, seperti Waki Ali dan Nyak Walad, sedangkan Said Umar “dibuang” ke Makassar Sulawesi Selatan.
Pada
bulan Maret 1927, saat pasukan marsose melakukan sweeping ke markas
gerilyawan di Gunong Sabi, mereka kembali disergap oleh pejuang Aceh
Barat Daya. Dalam penyergapan itu, beberapa korban jatuh di pihak
marsose Belanda. Teuku Nana sebagai uleebalang Manggeng yang dituduh
menutup-nutupi laporan tentang aktivitas para gerilyawan kepada Belanda
mengakibatkan ia dicopot dari jabatan sebagai uleebalang Manggeng.
Setelah itu uleebalang Mangeng dipegang oleh beberapa pengganti, di
antaranya Cut Mamat. Baru pada tahun 1933 Belanda mengangkat Teuku Raja
Iskandar menjadi uleebalang di Manggeng.
BAB III
P e n u t u p
A. S i m p u l a nTeungku Peukan sebagai leader of spritual dan sekaligus pejuang dalam masyarakat Manggeng Aceh Barat Daya. Keheroikan dan kearifan beliau dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal dari kebijakan represif kolonial Belanda melalui tekanan uleebalang harus tetap dihargai. Kebijakan Belanda yang eksploitatif dalam mengeksplorasi sumber daya alam dan tenaga, terutama pungutan belasting atau pajak bumi dan rodi untuk kepentingan kolonialisme di “Bumo Breuh Sigeupai” memang harus tetap dilawan.
P e n u t u p
A. S i m p u l a nTeungku Peukan sebagai leader of spritual dan sekaligus pejuang dalam masyarakat Manggeng Aceh Barat Daya. Keheroikan dan kearifan beliau dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal dari kebijakan represif kolonial Belanda melalui tekanan uleebalang harus tetap dihargai. Kebijakan Belanda yang eksploitatif dalam mengeksplorasi sumber daya alam dan tenaga, terutama pungutan belasting atau pajak bumi dan rodi untuk kepentingan kolonialisme di “Bumo Breuh Sigeupai” memang harus tetap dilawan.
Setelah
Teungku Peukan syahid dan tertangkapnya beberapa tokoh perlawanan dan
perjuangan lainnya, di Aceh Barat Daya serangan terhadap marsose Belanda
masih saja terjadi dari akhir tahun 1926 hingga tahun 1930-an. Hal ini
akibat dari represivitas dari sistem lini konsentrasi yang dilakukan
Belanda membuat kepanikan di dalam masyarakat Aceh. Setelah serangan
Teungku Peukan di tangsi Blangpidie pada tahun 1926, Guru Ceubeh dan
pengikutnya kembali melakukan penyergapan marsose Belanda di Gunong
Sabi, pada tahun 1933. Serangan-serangan ini adalah bukti konkret dari
eksistensi resistensi masyarakat terhadap kekuasaan kolonial di Aceh
Barat Daya.
Sampai
akhir kekuasaannya di Aceh Barat Daya kolonial Belanda masih saja
menerapkan politik “kekerasan” dalam mengeksploitasi sumber daya alam,
terutama dalam pungutan pajak tanah (belasting) dan pengerahan tenaga
dalam menggenjot “finansial” mereka. Saat “zaman malaisse” menghantam
perekonomian dunia saat itu, perekonomian kolonial semakin fluktuatif
sehingga pada tataran lokal peranan uleebalang semakin digenjot.
Akibatnya, sebagai puncak kekesalan masyarakat maka lahirlah
bentuk-bentuk resistensi lain terhadap kolonial seperti yang dikenal
dengan Atjehmoorden, baik yang dilakukan secara individual ataupun
secara berkelompok terhadap akses-akses dan kepentingan kolonial di Aceh
Barat Daya.
B. S a r a nPerjuangan
Teungku Peukan dan pejuang-pejuang lainnya adalah representasi
keheroikan pahlawan Aceh Barat Daya yang telah berjuang dengan kegigihan
dan ketabahan hingga titik darah penghabisan terhadap eksistensi
kolonialisme. Kiranya perjuangan dan ketabahan itu dapat memberi
“spirit” bagi stakeholder dalam membangun daerahnya, bagi kemakmuran
rakyat dengan menghargai jasa-jasa perjuangan para pahlawannya demi
kejayaan daerah, bangsa dan negara.
Publikasi
terhadap keberadaan pejuang atau pahlawan di daerah harus dilakukan,
seperti pembangunan monumen dan pembuatan prasasti pada pusara “para
syuhada” perlu segera dilakukan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat. Posisi makam Teungku Peukan yang sangat strategis di tengah
kota Blangpidie, tepatnya di kompleks sebelah Barat Mesjid Jamik
Blangpidie dan sekitar tangsi Belanda merupakan aset potensial bagi
“wisata ziarah” dan “wisata sejarah” di kabupaten ini, sehinga harus
tetap dilestarikan dan menghindari perilaku vandalisme yang semakin
marak dilakukan.
DAFTAR PUSTAKAAbubakar. H. Said., 1995, Berjuang Untuk Daerah : Otonomi Hak Azazi Insani, Banda Aceh : Yayasan Nagasakti.
Ahmad, Zakaria,(ed)., 2007, Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, Blangpidie : Pemda ABDYA.
Bappeda Abdya., 2003, Aceh Barat Daya Dalam Angka, Blangpidie : Pemda Aceh Barat Daya.
Doup, A., Beknopt Overzicht van de Krujggeschiedenis van Tapa’toean en de Zuidelijk Achehsche Landschappen Korps Marechausse Atjeh April, 2.1890-1940.
Harian Kompas, 1 April 2004., Kabupaten Aceh Barat Daya, Jakarta: PT Gramedia.
Suara Rakyat Abdya., 2007, Dari Napak Tilas Teuku Peukan 10 September 2007. Edisi Kedua, Blangpidie : DPRK Aceh Barat Daya.
Tarmizi Ismail., Agustus 2004, Gambaran Umum Perintis Kemerdekaan RI Pejuang Daerah dan Cita-Cita Bangsa Saat Ini, Makalah Seminar Sehari Untuk Siswa,SD,SMP, dan SMA Se-Kabupaten ABDYA, Blangpidie : Dinas Sosial Kabupaten ABDYA.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, Tanggal 10 April 2002, Lembaran Negara No. 17 Tahun 2002/Tambahan Lembaran Negara No. 4179
Z.Thamrin,M., 2007., Peranan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, Majalah Swadaya Edisi 04/I/April 2007 Jakarta : Swadaya.
Ahmad, Zakaria,(ed)., 2007, Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintasan Sejarah Menuju Daerah Otonom, Blangpidie : Pemda ABDYA.
Bappeda Abdya., 2003, Aceh Barat Daya Dalam Angka, Blangpidie : Pemda Aceh Barat Daya.
Doup, A., Beknopt Overzicht van de Krujggeschiedenis van Tapa’toean en de Zuidelijk Achehsche Landschappen Korps Marechausse Atjeh April, 2.1890-1940.
Harian Kompas, 1 April 2004., Kabupaten Aceh Barat Daya, Jakarta: PT Gramedia.
Suara Rakyat Abdya., 2007, Dari Napak Tilas Teuku Peukan 10 September 2007. Edisi Kedua, Blangpidie : DPRK Aceh Barat Daya.
Tarmizi Ismail., Agustus 2004, Gambaran Umum Perintis Kemerdekaan RI Pejuang Daerah dan Cita-Cita Bangsa Saat Ini, Makalah Seminar Sehari Untuk Siswa,SD,SMP, dan SMA Se-Kabupaten ABDYA, Blangpidie : Dinas Sosial Kabupaten ABDYA.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2002, Tanggal 10 April 2002, Lembaran Negara No. 17 Tahun 2002/Tambahan Lembaran Negara No. 4179
Z.Thamrin,M., 2007., Peranan Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan dalam Perang Kemerdekaan di Aceh, Majalah Swadaya Edisi 04/I/April 2007 Jakarta : Swadaya.
Sumber: Artikel
ini disalin dari blognya: Boelach Goehang
[http://anisabulah.blogspot.com/]. Boelach Goehang adalah Penulis &
Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah & Nilai Tradisional Banda
Aceh, Wil. Kerja Prov. Aceh-Sumut. Disalin ulang semata-mata untuk
tujuan mensosialisasikan, mengenalkan sejarah, budaya Aceh di mata
dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar